Sabtu, 20 Oktober 2012

Islam dan Asas Tunggal



BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila merupakan ideologi bangsa yang lahir puluhan tahun silam dari hasil pemikiran para “Founding Fathers” untuk membuat dan  mengokohkan bangsa Indonesia di kancah internasional serta untuk menyaring berbagai ideologi yang datang dari luar. Tetapi ketika Pancasila ingin dijadikan asas tunggal di bumi Indonesia ini, munculah berbagai pro dan kontra dari kalangan umat Islam .Masalah inilah yang akan dibahas pada makalah ini.

  

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Latar Belakang Munculnya Pancasila sebagai Asas Tunggal
Asas tunggal, Tunggal jelas berarti satu. Asas tunggal berarti tidak boleh ada asas lain. Jika Pancasila menjadi asas tunggal, itu berarti tak boleh ada asas lain kecuali Pancasila yang dijadikan tumpuan berpikir atau berpendapat di negeri ini. Kalaupun ada yang lain, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pokoknya, Pancasila berada di atas segalanya. Yang lain ada di bawahnya, termasuk Islam.
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai  satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.[1]
Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada pancasila dan meletakkannya segai pilar ideologi rezim. Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya pancasila bagi orde baru. pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas pancasila sebagai ideologi. sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman terhadap pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan pancasila sebagai ideologi negara, Bahkan sanggup pula menggunakan pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya “dicurigai” sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis.
Pada awal 1980-an rezim Suharto menghendaki agar pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia.[2] Kepercayaan diri rezim ini dan konsentrasinya untuk mencegah meningkatnya keteguhan Islam untuk bersatu menjadi gerakan politik yang berbahya membuat rezim ini berusaha mewujudkan keseragaman ideologis yang lebih besar lagi di seluruh sektor sosial politik.[3] Dalam pidato tahunannya di depan DPR pada tanggal 10 Agustus 1982, kemudian gagasan presiden itu di masukkan dalam ketetapan MPR  no 11/1983 (pasal 3 bab IV), dengan alasan demi memelihara, memperkuat dan memantapkan Pancasila dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa, seluruh partai politik dan Golongan Karya harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Selanjutnya presiden Soeharto menegaskan bahwa “seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila ”.[4]  
  1. Sikap umat Islam terhadap pancasila sebagai asas tunggal
Keputusan pemerintah menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal ini secara tidak langsung, dan memang disengaja menentang organisasi-organisasi Islam, yang dengan ini diharuskan menjadikan sesuatu selain Islam sebagai satu-satunya dasar. Organisasi Islam yang secara politik paling signifikan adalah NU, yang masih berada dalam PPP (yang menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya pada bulan Agustus 1984).[5]
Hal ini serta-merta menimbulkan kegelisahan di seluruh komunitas Muslim Indonesia. Sejak semula, kebijakan baru ini menyebabkan adanya ketidak senangan yang meluas melalui protes yang walaupun tersaring, marah. Terjadi ledakan keras, ketika umat Islam di daerah Tanjung Priok, Jakarta, diganggu (pada September 1984). Pihak tentara turun tangan dan menembaki kerumunan orang, sehingga menyebabkan puluhan, atau bahkan ratusan orang, terbunuh. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan pengadilan subversi, yang melibatkan beberapa pengkritik paling vokal tehadap rejim ini. Kejadian ini dengan efektif telah membungkam perlawanan terhadap Pancasilais, dan akhirnya semua organisasi besar mengikuti kebijakan asas tunggal.[6]
Setelah draf penerapan asas tunggal ini dipublikasikan oleh pemerintah, reaksi yang beragam muncul di masyarakat. Para pemimpin politik Islam umumnya terpolarisasi dalam menyikapi rencana asas tunggal tersebut. PB HMI, mulanya menyatakan penolakan terhadap pemberlakuan asas tunggal tersebut. Demi mempertahankan citra HMI sebagai organisasi radikal anti pancasila dan menghindari resiko pembubaran, maka pada april 1985 HMI menyatakan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Penerimaan asas tunggal oleh HMI akhirnya menyebabkan HMI menjadi dua kubu, pertama HMI yang diakui oleh Pemerintah (yang menerima asas tunggal) dan yang kedua HMI Majelis Penyelemat Organisasi (MPO) yang tatap bersikukuh menolak asas tunggal. Penolakan asas tunggal juga dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) yang pada akhirnya PII memilih untuk membubarkan diri dai pada menerima asas tunggal.
Secara umum reaksi kalangan umat Islam pada saat itu bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, pertama, yang meneria asas tunggal tanpa reserve yang diwakili oleh PPP, NU, Perti dan disusul oleh organisasi-organisasi kecil lainnya seperti Dewan Masjid Indonesia. Kedua, menerima karena terpaksa sambil menanti keluarnua UU keormasan, golongan ini terwakili antara lain oleh Muhammadiyah, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) . ketiga, menolak sama sekali, golongan ini terwakili oleh PII, dan tokoh-tokoh Islam seperti Deliar Noer, Syarifudin Prawiranegara dan Yusuf Abdullah Puar.[7]  
Sehubungan dengan gagasan pemerintah tersebut telah muncul banyak pendapat yang pro dan kontra, yang pro adalah yang memandang bahwa tindakan seperti itu sangat mendukung bagi upaya mengurangi pengkotak-kotakan didala masyarakat yang akhirnya tdak mendukung kearah terwujudnya persatuan dan kesatuan. Sedangkan bagi yang kontra memandang penyeragaman itu beraarti mengingkari keberagaman/kebhinekaan yang ada dalam masyarakat.[8]
Reaksi keras juga diberikan oleh mantan tokoh-tokoh Mayumi, di antaranya Sjarifuddin Prawiranegara. Pada tanggal 7 Juli 1983, ia mengirim surat kepada presiden Soeharto, meminta untuk menghentikan kebijakannya.[9] Begitu juga dengan NU, gara-gara pemerintah mau menerapkan asas tunggal Pancasila bagi organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk NU. Kiai Ali Maksum, Rais Aam PBNU mengontak Kiai Ahmad Siddiq Jember. Kiai Ahmad lalu sowan kepada Kiai As’ad dan meminta petunjuk beliau.[10]
Reaksi yang paling menarik adalah yang diberikan oleh NU. Organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia, yang dalam sejarahnya paling radikal menolak pancasila itu telah mengalami perubahan sikap yang mendasar. Munas AlimUlama NU, yang diselenggarakan di Situbondo pada Desember 1983, mengeluarkan dua keputusan yang menentukan: menarik diri dari politik praktis (dan karena itu keluar dari PPP) dan mengikuti tuntutan asas tunggal. Pada dasarnya lebih ditentukan oleh sikap dua tokoh intelektual NU yang memegang pucuk pimpinan baru. masing-masing KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam Suriyah, dan KH Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidiyah.
PBNU mengadakan pembagian tugas, Kiai Ahmad Siddiq jember dan Gus Dur disuruh untuk merumuskan konsepasas tunggal pancasila, sedangkan Kiai As;as dan para sesepuh lainnya siap mendukung.butuh waktunyang lama untuk merumuskan hukum penerimaan asas Pancasila, untuk menghilangkan keragu-raguan tentang asas Pancasila, Kiai As’ad mengadakan Musyawarah dengan para sesepuh lainnya. Setelah mantap tentang asas Pancasila, Kiai kharismatik dari Asembagus ini pun mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soeharto. Lalu ia berfatwa wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia, termasuk alim ulama, menerima ideologo Pancasila.[11]
Kendatipun begitu, bukan berarti terjadi kemulusan dalam meyakinkan seluruh Ulama NU. Pada bulan Desember 1983, ulama yang bertemu di Situbondo, dari pernyataan yang ditulis dalam bahasa Arab, 34 dari 36 Kiai yang hadir dalam pertemuan itu menyatakan keberatan mereka dalam menerima asas tunggal. Kisah berubahnya NU menerima Pancasila agaknya disebabkan oleh kepiawaian KH. Ahmad dalam menata argumentasi teologisnya, sehingga berhasil meyakinkan para kiai sepuh seperti: Kiai As’ad, Kiai Ali Maksum, Kiai Masykur dan Kiai Machrus Ali.[12] Beliau mengatkan bahwa Islam adalah agama, bukan ideologi, agama diciptakan oleh Allah, sedang Ideologi oleh manusia. Jadi jangan sampai agama dipancasilakan.
PPP sendiri menerima asas tunggal pada muktamarnya pada tahun 1984, dan karena saat itu PPP sudah di ketuai oleh HJ Naro. Muhammadiyah akhirnya, adalah organisasi besar Islam, yang paling kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal.Tidak mudah memang sebab melalui lobi yang panjang. Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua muktamar, 8 Desember 1985. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, itu, dengan gaya kocak dan disambut penuh gelak tawa, Haji A.R. Fakhruddin. Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar". Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama." Dan keplok pun membahana. PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulan: Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu tidak Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan. Sebab, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakir, dan Kasman Singodimejo, ikut merumuskan dan menerima Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.[13]
Karena Pancasila bukanlah agama melainkan hasil pergumulan bangsa Indonesia untuk membangun dirinya, maka ia tidak dicurigai sebagai saingan agama. Sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.[14] Yang jelas, karena sifat mencamtumkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi ormas-orpol itu sifatnya keharusan, akhirnya tidak ada satupun ormas-orpol yang tidak menerimanya, meskipun waktu penerimannnya berbeda-beda tergantung pada proses negosiasi yang dilakukan.

















BAB III
KESIMPULAN
Penetapan Pancasila sebagai asas tunggal memang terasa berat bagi Umat Islam yang ada di seluruh Indonesia. Mereka dipaksa mengakui bahwa satu-satunya asas yang ada adalah Pancasila dan semua ormas-orpol harus berasaskan Pancasila. Tentu saja hal ini membuat umat Islam merasa gerah terhadap kebijakan ini. Tetapi pada akhirnya tidak ada satupun ormas-orpol yang tidak menerimanya, meskipun waktu penerimannnya berbeda-beda tergantung pada proses negosiasi yang dilakukan.












DAFTAR PUSTAKA
Saidi, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, Depok: Desantara, 2004
T. Wardaya, Baskara,  Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto ,Yogyakarta: Galangpress, 2007
Dharwis, Ellyasa, Gus Dur  NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS 1997
 van Bruinessen, Martin, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 2004
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2009
Hasan, Syamsul A,  Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat , Yogyakarta: LKiS, 2003
Artikel Majalah Tempo, 14 Desember 1985





[3] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2009) hlm 644
[4] Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta (Depok: Desantara, 2004) hlm 98
[5]  M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2009) hlm 644
[6]  Dr. Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru: diterjemahkan dari The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Poliics, Factional Conflict and The Search for A New Discourse (Yogyakarta: LkiS, 2004) hlm 113
[7]  Baskara T. Wardaya, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (Yogyakarta: Galangpress, 2007) hlm 138
[8] M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potert Pasang- Surut (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) hlm 220
[9]  Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta (Depok: Desantara, 2004) hlm 100
[10]  Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat ( Yogyakarta: LKiS, 2003) hlm 15
                [11] Ibid, hlm 16
[12] Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta (Depok: Desantara, 2004) hlm101
[13] Artikel Majalah Tempo, 14 Desember 1985
[14] Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur  NU dan Masyarakat Sipil  (Yogyakarta: LkiS 1997) hlm 89

2 komentar:

  1. Baccarat Rules | WGURione
    Baccarat is a game that can be played for five to ten times a week on 제왕카지노 a single hand. 바카라 사이트 It can be played as a standard or a standard four-card 온카지노 game.

    BalasHapus