BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila
merupakan ideologi bangsa yang lahir puluhan tahun silam dari hasil pemikiran
para “Founding Fathers” untuk membuat dan mengokohkan bangsa Indonesia di
kancah internasional serta untuk menyaring berbagai ideologi yang datang dari
luar. Tetapi ketika Pancasila ingin dijadikan asas tunggal di bumi Indonesia
ini, munculah berbagai pro dan kontra dari kalangan umat Islam .Masalah inilah
yang akan dibahas pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Pancasila sebagai Asas Tunggal
Asas tunggal, Tunggal jelas berarti
satu. Asas tunggal berarti tidak boleh ada asas lain. Jika Pancasila menjadi
asas tunggal, itu berarti tak boleh ada asas lain kecuali Pancasila yang
dijadikan tumpuan berpikir atau berpendapat di negeri ini. Kalaupun
ada yang lain, tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila. Pokoknya, Pancasila berada di atas
segalanya. Yang lain ada di bawahnya, termasuk Islam.
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa
rezim baru ini adalah pewaris sah dari presiden pertama. Dari khasanah
ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu
merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan
awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap
bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi
Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya
‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965
sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya,
yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.[1]
Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai
kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, berhasil
memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret
1966. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan
pada pancasila dan meletakkannya segai pilar ideologi rezim. Suharto beserta
tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya
pancasila bagi orde baru. pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif
untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya
di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi
ideologisnya.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah pancasila benar-benar
menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’
kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas pancasila
sebagai ideologi. sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan),
merupakan ancaman terhadap pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan
dapat dihancurkan. Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil
meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan pancasila
sebagai ideologi negara, Bahkan sanggup pula menggunakan pancasila sebagai alat
untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik
oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik
dengan pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya “dicurigai” sebagai
usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis.
Pada awal 1980-an rezim Suharto menghendaki agar
pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan
organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia.[2]
Kepercayaan diri rezim ini dan konsentrasinya untuk mencegah meningkatnya
keteguhan Islam untuk bersatu menjadi gerakan politik yang berbahya membuat
rezim ini berusaha mewujudkan keseragaman ideologis yang lebih besar lagi di
seluruh sektor sosial politik.[3]
Dalam pidato tahunannya di depan DPR pada tanggal 10 Agustus 1982, kemudian
gagasan presiden itu di masukkan dalam ketetapan MPR no 11/1983 (pasal 3 bab IV), dengan alasan
demi memelihara, memperkuat dan memantapkan Pancasila dalam kehidupan sosial
dan nasional bangsa, seluruh partai politik dan Golongan Karya harus menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal. Selanjutnya presiden Soeharto menegaskan bahwa
“seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka
satu-satunya adalah Pancasila ”.[4]
- Sikap umat Islam terhadap pancasila sebagai asas
tunggal
Keputusan pemerintah menetapkan Pancasila sebagai asas
tunggal ini secara tidak langsung, dan memang disengaja menentang
organisasi-organisasi Islam, yang dengan ini diharuskan menjadikan sesuatu
selain Islam sebagai satu-satunya dasar. Organisasi Islam yang secara politik
paling signifikan adalah NU, yang masih berada dalam PPP (yang menerima
Pancasila sebagai asas tunggalnya pada bulan Agustus 1984).[5]
Hal ini serta-merta menimbulkan kegelisahan di seluruh
komunitas Muslim Indonesia. Sejak semula, kebijakan baru ini menyebabkan adanya
ketidak senangan yang meluas melalui protes yang walaupun tersaring, marah.
Terjadi ledakan keras, ketika umat Islam di daerah Tanjung Priok, Jakarta,
diganggu (pada September 1984). Pihak tentara turun tangan dan menembaki
kerumunan orang, sehingga menyebabkan puluhan, atau bahkan ratusan orang,
terbunuh. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan pengadilan subversi, yang
melibatkan beberapa pengkritik paling vokal tehadap rejim ini. Kejadian ini
dengan efektif telah membungkam perlawanan terhadap Pancasilais, dan akhirnya
semua organisasi besar mengikuti kebijakan asas tunggal.[6]
Setelah draf penerapan asas tunggal ini dipublikasikan
oleh pemerintah, reaksi yang beragam muncul di masyarakat. Para pemimpin politik
Islam umumnya terpolarisasi dalam menyikapi rencana asas tunggal tersebut. PB
HMI, mulanya menyatakan penolakan terhadap pemberlakuan asas tunggal tersebut.
Demi mempertahankan citra HMI sebagai organisasi radikal anti pancasila dan
menghindari resiko pembubaran, maka pada april 1985 HMI menyatakan menerima
Pancasila sebagai asas tunggal. Penerimaan asas tunggal oleh HMI akhirnya
menyebabkan HMI menjadi dua kubu, pertama HMI yang diakui oleh Pemerintah (yang
menerima asas tunggal) dan yang kedua HMI Majelis Penyelemat Organisasi (MPO)
yang tatap bersikukuh menolak asas tunggal. Penolakan asas tunggal juga
dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) yang pada akhirnya PII memilih
untuk membubarkan diri dai pada menerima asas tunggal.
Secara umum reaksi kalangan umat Islam pada saat itu bisa
dikelompokkan menjadi tiga macam, pertama, yang meneria asas tunggal
tanpa reserve yang diwakili oleh PPP, NU, Perti dan disusul oleh
organisasi-organisasi kecil lainnya seperti Dewan Masjid Indonesia. Kedua,
menerima karena terpaksa sambil menanti keluarnua UU keormasan, golongan ini
terwakili antara lain oleh Muhammadiyah, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) . ketiga,
menolak sama sekali, golongan ini terwakili oleh PII, dan tokoh-tokoh Islam
seperti Deliar Noer, Syarifudin Prawiranegara dan Yusuf Abdullah Puar.[7]
Sehubungan dengan gagasan pemerintah tersebut telah
muncul banyak pendapat yang pro dan kontra, yang pro adalah yang memandang
bahwa tindakan seperti itu sangat mendukung bagi upaya mengurangi pengkotak-kotakan
didala masyarakat yang akhirnya tdak mendukung kearah terwujudnya persatuan dan
kesatuan. Sedangkan bagi yang kontra memandang penyeragaman itu beraarti
mengingkari keberagaman/kebhinekaan yang ada dalam masyarakat.[8]
Reaksi keras juga diberikan oleh mantan tokoh-tokoh
Mayumi, di antaranya Sjarifuddin Prawiranegara. Pada tanggal 7 Juli 1983, ia
mengirim surat kepada presiden Soeharto, meminta untuk menghentikan
kebijakannya.[9] Begitu
juga dengan NU, gara-gara pemerintah mau menerapkan asas tunggal Pancasila bagi
organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk NU. Kiai Ali Maksum, Rais Aam PBNU
mengontak Kiai Ahmad Siddiq Jember. Kiai Ahmad lalu sowan kepada Kiai As’ad dan
meminta petunjuk beliau.[10]
Reaksi yang paling menarik adalah yang diberikan oleh NU.
Organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia, yang dalam sejarahnya
paling radikal menolak pancasila itu telah mengalami perubahan sikap yang
mendasar. Munas AlimUlama NU, yang diselenggarakan di Situbondo pada Desember
1983, mengeluarkan dua keputusan yang menentukan: menarik diri dari politik
praktis (dan karena itu keluar dari PPP) dan mengikuti tuntutan asas tunggal.
Pada dasarnya lebih ditentukan oleh sikap dua tokoh intelektual NU yang
memegang pucuk pimpinan baru. masing-masing KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam
Suriyah, dan KH Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidiyah.
PBNU mengadakan pembagian tugas, Kiai Ahmad Siddiq jember
dan Gus Dur disuruh untuk merumuskan konsepasas tunggal pancasila, sedangkan
Kiai As;as dan para sesepuh lainnya siap mendukung.butuh waktunyang lama untuk
merumuskan hukum penerimaan asas Pancasila, untuk menghilangkan keragu-raguan tentang
asas Pancasila, Kiai As’ad mengadakan Musyawarah dengan para sesepuh lainnya. Setelah
mantap tentang asas Pancasila, Kiai kharismatik dari Asembagus ini pun
mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soeharto. Lalu ia berfatwa wajib
hukumnya bagi umat Islam Indonesia, termasuk alim ulama, menerima ideologo
Pancasila.[11]
Kendatipun begitu, bukan berarti terjadi kemulusan dalam
meyakinkan seluruh Ulama NU. Pada bulan Desember 1983, ulama yang bertemu di
Situbondo, dari pernyataan yang ditulis dalam bahasa Arab, 34 dari 36 Kiai yang
hadir dalam pertemuan itu menyatakan keberatan mereka dalam menerima asas
tunggal. Kisah berubahnya NU menerima Pancasila agaknya disebabkan oleh
kepiawaian KH. Ahmad dalam menata argumentasi teologisnya, sehingga berhasil
meyakinkan para kiai sepuh seperti: Kiai As’ad, Kiai Ali Maksum, Kiai Masykur
dan Kiai Machrus Ali.[12]
Beliau mengatkan bahwa Islam adalah agama, bukan ideologi, agama diciptakan
oleh Allah, sedang Ideologi oleh manusia. Jadi jangan sampai agama
dipancasilakan.
PPP sendiri menerima asas tunggal pada muktamarnya pada
tahun 1984, dan karena saat itu PPP sudah di ketuai oleh HJ Naro. Muhammadiyah akhirnya,
adalah organisasi besar Islam, yang paling kemudian menerima Pancasila sebagai
asas tunggal.Tidak mudah memang sebab melalui lobi yang panjang. Tanda-tanda
menerima asas tunggal ini, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua
muktamar, 8 Desember 1985. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, itu, dengan gaya kocak
dan disambut penuh gelak tawa, Haji A.R. Fakhruddin. Ketua PP Muhammadiyah,
menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar".
Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu
berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad
menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan
di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama." Dan keplok
pun membahana. PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini
dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulan: Muhammadiyah lahir karena
Islam, tanpa asas Islam tentu tidak Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi
Muhammadiyah, bukan persoalan. Sebab, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus
Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakir, dan Kasman Singodimejo, ikut merumuskan dan
menerima Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.[13]
Karena Pancasila bukanlah agama melainkan hasil
pergumulan bangsa Indonesia untuk membangun dirinya, maka ia tidak dicurigai
sebagai saingan agama. Sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan
Islam.[14]
Yang jelas, karena sifat mencamtumkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
ormas-orpol itu sifatnya keharusan, akhirnya tidak ada satupun
ormas-orpol yang tidak menerimanya, meskipun waktu penerimannnya berbeda-beda
tergantung pada proses negosiasi yang dilakukan.
BAB III
KESIMPULAN
Penetapan Pancasila sebagai
asas tunggal memang terasa berat bagi Umat Islam yang ada di seluruh Indonesia.
Mereka dipaksa mengakui bahwa satu-satunya asas yang ada adalah Pancasila dan
semua ormas-orpol harus berasaskan Pancasila. Tentu saja hal ini membuat umat
Islam merasa gerah terhadap kebijakan ini. Tetapi pada akhirnya tidak ada satupun ormas-orpol yang tidak menerimanya,
meskipun waktu penerimannnya berbeda-beda tergantung pada proses negosiasi yang
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Saidi, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta,
Depok: Desantara, 2004
T. Wardaya, Baskara, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto ,Yogyakarta:
Galangpress, 2007
Dharwis, Ellyasa, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS
1997
van Bruinessen,
Martin, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,
Yogyakarta: LkiS, 2004
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta:
Serambi, 2009
Hasan, Syamsul A, Kharisma
Kiai As’ad di Mata Umat , Yogyakarta: LKiS, 2003
Artikel Majalah Tempo, 14 Desember 1985
[3] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2009)
hlm 644
[4] Anas Saidi,
Menekuk Agama, Membangun Tahta (Depok: Desantara, 2004) hlm 98
[5] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2009) hlm 644
[6] Dr. Martin van Bruinessen, NU Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru: diterjemahkan dari The Nahdlatul
Ulama and Indonesia’s New Order Poliics, Factional Conflict and The Search for
A New Discourse (Yogyakarta: LkiS, 2004) hlm 113
[7] Baskara T. Wardaya, Menguak Misteri
Kekuasaan Soeharto (Yogyakarta: Galangpress, 2007) hlm 138
[8] M. Rusli
Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potert Pasang- Surut
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) hlm 220
[10] Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad di
Mata Umat ( Yogyakarta: LKiS, 2003) hlm 15
[14] Ellyasa KH.
Dharwis, Gus Dur NU dan Masyarakat
Sipil (Yogyakarta: LkiS 1997) hlm 89
Baccarat Rules | WGURione
BalasHapusBaccarat is a game that can be played for five to ten times a week on 제왕카지노 a single hand. 바카라 사이트 It can be played as a standard or a standard four-card 온카지노 game.
joya shoes 853u4zxyag485 joya sko,joya sko,joya skor,Cipő joya,zapatos joya,joya schoenen verkooppunten,Scarpe joya,chaussures joya,joya schuhe wien,joya schuhe joya shoes 169p7awzst696
BalasHapus